Ini Tentang Buaya, “Buaya Darat” Dan Alat Vital Buaya Yang Selalu Ereksi (Bagian I)

Opini

Buaya yang bersahabat dengan manusia (dream.co.id)

Akhir September 2021 di Sulawesi, tepatnya di Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), Kabupaten Pasangkayu sedikit riuh oleh kenampakan seekor buaya yang berenang di seputaran Pantai Vova Sanggayu. Beberapa hari kemudian, seekor buaya berkeliaran di seputara Bundaran Smart, Kota Pasangkayu. Lalu sebuah fragmen semi berita di kanal https://lenterasulawesi.com/ini-di-kota-pasangkayu-ada-buaya-buaya-naik-ke-darat/. Itu lalu direspon rame-rame oleh masyarakat pengguna Sosial Media (Sosmed). Mereka berdiskusi di dunia maya (dumay) itu soal buaya yang dan juga soal buaya ideasional, “buaya darat.”

Lalu teringat pula, pada Bulan September 2006 silam, Steve Irwin  yang digelar sebagai “The Crocodile Hunter,” tutup usia. Namun pakar buaya penyiar Discovery Channel  meninggal dunia bukan karena terkemana buaya melainkan oleh sengatan ikan pari yang menusuk jantungnya. Dus, kita kembali ke buaya, lenterasulawesi.com , membaca dan berselancar untuk menuliskan buaya – buaya berikut ini.

Benarkah Manusia Bisa Punya Kembaran Buaya

Di Pulau Sulawesi, dalam kebudayaan masyarakatnya, buaya sudah dalam dikenal. Bahkan binatang buas melata yang bernama latin Crocodilynae  ini disebut-sebut  menjadi bagian dari kehidupan manusia. Khusus untuk masyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Provinsi Sulbar, buaya itu dianggap sebagai kembaran manusia.

Buaya melotot (istimewa)

Mengutif dari detik.com  bahwa menghormati buaya dan memperlakukannya layaknya manusia bukanlah hal baru bagi masyarakat Sulsel khususnya masyarakat Bugis-Makassar. Jauh sebelum ajaran Islam masuk ke Sulsel, sebagian besar masyarakat Bugis Makassar yakin dan percaya dengan mitologi, setiap manusia yang lahir memiliki kembaran seekor buaya.

Detik tuliskan, menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Nurhayati Rahman, kepercayaan manusia memiliki kembaran buaya bagi masyarakat Bugis-Makassar juga tertuang dalam kitab sastra Bugis kuno, Lagaligo.

Nurhayati urai, kalau dalam Buku Lagaligo ada dijelaskan pandangan kosmogoni, bahwa orang Bugis memandang alam raya ini terdiri dari tiga lapis. Yaitu dunia di atas (langit) atau yang disebut Botting Langi dihuni oleh para dewa dan dewi. Lalu kemudian dunia di bawah laut dia sebut dengan Buri Liung, yang juga dihuni oleh dewa-dewi. Pertemuan antara dewi dari Botting Langi dan dewa di Buri Liung melahirkan manusia.

Masih menurut kitab Lagaligo, Nurhayati mengungkapkan, manusia yang lahir dari pertemuan dewi Botting Langi (dunia langit) dan dewa dari Buri Liung (dunia laut) kemudian menghuni dunia tengah atau disebut Ale Lino. Manusia yang hidup di dunia tengah bertugas menjaga keseimbangan alam. Masyarakat Bugis-Makassar di masa silam juga percaya apa yang berasal dari langit dan bawah laut merupakan bagian dari dirinya, termaksud buaya yang diyakini sebagai kembaran.

(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *