Mendefinisikan Mamasa Sebagai Suku Bangsa (Sebuah Feature Antropologi)

Opini

Perkampungan tua di Kabupaten Mamasa (dok. Taufik AAS P)

Mengenang beberapa tahun silam dan terkesima dengan cerita Deng Marowa, seorang pensiunan guru yang tinggal di Lemba Banggo, dekat BTS Telkomsel, Desa Osango, Kec. Mamasa. Bahwa Mamasa itu bukanlah sekedar sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat. Tetapi kabupaten yang berhawa sejuk ini adalah salah satu pusat peradaban manusia di masa lalu. Mungkin lebih dari itu, menurut Deng Marowa, moyang orang Mamasa adalah, manusia-manusia pertama di muka bumi ini setelah air bah – banjir besar — jaman Nabi Musa AS.

Bukan sekedar bertutur, pria usia gaek, Deng Marowa itu mengeluarkan juga catatan tentang hipotesanya itu dalam bentuk buku tebal yang telah ditulisnya bertahun-tahun. Meskipun masih menggunakan mesin ketik manual, dimana karakter “A”-nya sudah kabur. Tapi penulis dapat juga mencerna tulisan yang ratusan halaman itu yang intinya adalah sejarah manusia-manusia pertama di Mamasa. Dalam hipotesa-hipotesa antropologinya tersebut Deng Marowa juga member gambaran kuat bahwa moyang orang Mamasa adalah nenek-neneknya orang-orang Sulawesi yang juga merupakan manusia-manusia pertama di bumi. Mereka membangun perdabannya secara terus menerus, menciptakan budaya, agama dan seni serta menata pola-pola sosialnya dalam bentuk pemerintahan, kemudian hari di kenal dengan kehadatan Mamasa.

Untuk membandingkan hipotesa Deng Marowa, penulis membuka keranjang tulisan dan menyarikutifkan arsif bahwa dari beberapa literasi yang terbaca penulis, termasuk kunjungan ke beberapa website dan blog di dunia maya, menyebutkan secara seragam bahwa nenek moyang orang Mamasa berasal dari Ulu Sa’dan, Tanah Toraja. Pada website dan blog yang penulis kujungi seperti Suara Mamasa, web. portal Pemkab. Mamasa, Mamasa Tempodoeloe. Blog. Spot.com, Toraja Cyber News, malaqbi.com, www.tokohindonesia.com, http://mamasa-online.blogsp, menyebutkan bahwa Mamasa adalah sebuah tempat berada di sebelah barat Toraja dan sering disebut Toraja Barat, pada jaman kekuasaan kolonial Belanda.

Tentang asal usul orang Mamasa, hampir semua catatan tentang Mamasa menyebutkan, bahwa dalam kisaran cerita yang diturunkan secara turun temurun. Tentang enam orang bersaudara, berbadan besar dan tegak dari Ulu Sa’dang (wilayah ini dalam Kabupaten Tana Toraja, red.) berjalan melakukan pengembaraan. Mereka itu bernama Puang Rimulu,’ Mangkoana (Lando Belue’), Pongka Padang, Bombong Langi, Lando Guntu dan Lombeng Susu.

Tentang pertemuan antara Pongka Padang dan To Rije’ne tersebut, selain perpaduan asmara dua manusia, satu dari laut dan satu dari gunung. Secara tersirat menyimpulkan adanya pertemua dua dunia budaya yang berbeda. To Rije’ne, bila dieja secara sintaksis, To, berarti manusia atau orang, Rije’ne artinya dari air. Kosa kata ini adalah bahasa Makassar, bahasa yang dipakai pada salah satu pusat kerajaan dan budaya di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Gowa. Dan disebutkan juga dalam berbagai literatur bahwa dari Gowa adalah salah pusat penyebaran manusia-manusia pertama di Sulawesi Selatan. Juga bila melihat nama-nama dari sebelas cucu Pongka Padang – To Rije’ne, ada Daeng Matana di Mambi, Daeng Maroe di Taramanu’ (Ulu Manda’), Daeng Kamahu di Sumahu, Daeng Maroe di Taramanu, memiliki kemiripan dengan nama-nama orang Makassar.

Penulis juga menjumpai beberapa kosa kata dalam bahasa Mamasa yang sangat identik dengan Bahasa Makassar, misalnya “pira,” dan “allo.” Proses geminasi (penebalan) untuk mengatakan “berapa hari” bahasa Mamasa menyebutnya “piranggallo,” identik dengan Bahasa Makassar pada arti yang sama. Namun begitu untuk menarik satu kesimpulan, empirik seperti ini butuh yang riset yang mendalam.

Catatan tentang asal usul orang Mamasa dan budayanya menjadikan daerah yang terletak di dataran tinggi Pulau Sulawesi ini adalah wilayah yang ternama di masa lalu. Mamasa yang dulu masih kental dengan sebuta kawasan atau daerah Pitu Ulunna Salu adalah moyang yang berdifusi secara luas ke seluruh suku-suku bangsa di Pulau Sulawesi, khususnya pada Mandar, Bugis dan Makassar.

Karena itu memiliki akar budaya yang kuat. Bahkan oleh kekuatan budayanya, Mamasa memili perisinsipnya yang diturunkan oleh moyangnya, dimana orang Mamasa telah diajarkan pola-pola kebersamaan dan kegotongroyongan yang dikenal dengan istilah “Mesa Kada dipotuo, patang kada dipomate.” Ini adalah nalar lokal yang memiliki akar yang kuat dan hidup dalam diri orang-orang Mamasa. Menjadikan Mamasa daerah yang kental persaudaraaannya satu sama lain. Sehinga tidak persoalan atau permasalahan yang tidak dapat diselesaikan. Karena orang-orang Mamasa menjunjung tinggi norma-norma adat yang telah melingkupinya secara turun temurun.

“Saya melihat hal ini adalah kekuatan yang tidak ternilai harganya bila dikaitkan dengan upaya-upaya percepatan pembangunan masyarakat Mamasa secara luas. Dimana dengan akar budaya tersebut, pemerintah akan menempatkan dirinya sebagai inspirator dan motivator dalam pembangunan. Tentunya dengan tetap kedepankan etika-etika budaya yang berkembang di masyarakat, secara lansung dapat memberikan kesepahaman yang sama, bahwa masyarakat itu bukan semata-mata sebagai obyek pembangunan, tetapi juga adalah bagian terpentig bagi kemajuan daerah ini. Artinya, masyarakat ditempatkan sebagai pelibat dan juga adalah pelaku pembangunan.”

Begitu dikatakan oleh Bupati Mamasa, H. Ramlan Badawi dalam melihat prospek untuk membangun Mamasa dalam bingkai budaya, itu adalah upaya-upaya pemerintah daerah membangun daerah ini secara seutuhnya. Dengan kata lain, bahwa masyarakat yang sejatera itu, adalah sejahtera secara penuh atas ketersediaan kebutuhan jasmani dan rohani. Atas beberapa frame-frame wacana di atas serta kekuatan nalar lokal dan kemandirian budaya dan wilayah yang dimiliki oleh Mamasa, kenapa daerah belum mendapat pengukuhan sebagai suku bangsa. Bahkan karena tidak mandirinya tersebut, Mamasa masih dibayang-bayangi dintara Suku Toraja dan Mandar. Pada hal untuk menjadi suku bangsa disebutkan cirinya. Bahwa Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama dentitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, bahasa,agama, perilaku, dan ciri-ciri biologis. (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).

Hipotesa lain yang bersumber dari beritadaerah.com, budaya sulawesi dan alexnova-alex.blogspot.com, letak geografis dan historis kabupaten mamasa mengisyaratkan Mamasa sebagai suku yang mandiri dengan menyebutkan, bahwa Suku Mamasa, adalah suatu komunitas masyarakat asli yang berada di kabupaten Mamasa di provinsi Sulawesi Barat. Masyarakat suku Mamasa tersebar di seluruh kecamatan di kabupaten Mamasa. Selain itu populasi suku Mamasa juga terdapat di kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Disebutkan pula, walaupun orang Mamasa mengaku berdarah Toraja, tapi mereka cenderung lebih suka menyebut diri mereka sebagai suku To Mamasa.

Selain itu masyarakat  Mamasa tidak memiliki upacara adat sebanyak sebagaimana upacara adat di Toraja. Orang-oran Mamasa dulu dan masih ada sebagian yang mempraktekkan tradisi dari agama tradisional leluhur mereka, yang disebut “Ada’ Mappurondo” atau “Aluk Tomatua”. Tradisi agama tradisional ini tetap terpelihara dan terus terwariskan ke generasi berikutnya. Tradisi dari Ada ‘Mappurondo ini dilaksanakan terutama setelah panen padi berakhir, sebagai ucapan syukur atas hasil panen mereka.

Ciri lain Suku Mamasa yang spesifik dari agama tradisionalnya yaitu tradisi penguburan orang yang telah mati, tapi dengan membuat sang jenazah berjalan dengan sendirinya menuju kuburan yang telah disiapkan. Mereka percaya bahwa semua mayat dari sebuah keluarga atau kerabat akan berada di tempat yang sama dalam kehidupan sesudahnya, Orang-orang Mamasa juga berbicara dalam bahasa Mamasa. Bahasa Mamasa ini dikelompokkan ke dalam sub-dialek dari bahasa Toraja, karena banyak terdapat kesamaan bahasa antara bahasa Mamasa dan bahasa Toraja. Penutur-penutur Bahasa Mamasa dijumpai di sepanjang sungai Mamasa Provinsi Sulawesi Barat. Bahasa Mamasa memiliki beberapa dialek, yaitu, dialek Mamasa Utara, dialek Mamasa Tengah, dialek Pattae’ (Mamasa Selatan, Patta’ Binuang, Binuang, Tae’, Binuang-Paki-Batetanga-Anreapi)

Sisi lain dalam kehidupan orang Mamasa adalah memiliki rumah Adat, yang disebut sebagai “Banua” yang berarti “rumah”, terdiri dari 5 jenis rumah dan digunakan berdasarkan tingkatan sosial, yaitu, Banua Layuk, “layuk” berarti “tinggi”, maka “Banua Layuk” artinya “Rumah Tinggi”, yang berukuran besar dan tinggi. Pemilik rumah ini merupakan pemimpin dalam masyarakat atau bangsawan. Banua Layuk berlokasi di Rantebuda, Buntukasisi. Orobua dan Tawalian. Semua berada di wilayah kecamatan Mamasa. Banua Sura, “sura” berarti “ukir”, jadi “Banua Sura” berarti “Rumah Ukir”, besar dan tingginya tidak seperti banua layuk. Penghuni rumah merupakan pemimpin dalam masyarakat dan bangsawan. Banua Bolong, “bolong” berarti “hitam”. Rumah ini dihuni oleh orang kaya dan pemberani dalam masyarakat. Banua Rapa, rumah ini memiliki warna asli (tidak diukir dan tidak dihitamkan), dihuni oleh masyarakat biasa.Banua Longkarrin, rumah bagian tiang paling bawah bersentuhan dengan tanah dialas dengan kayu (longkarrin), dihuni oleh masyarakat biasa Selain sebagai tempat tinggal dan pusat kegiatan uapacara-upacara adat rumah bagi orang Mamasa merupakan simbol eksistensinya. Namun kini akibat arus jaman, rumah-rumah adat di Mamasa yang semakin lama semakin hilang.

Walaupun rumah adat Mamasa mirip dengan rumah adat Toraja, namun memiliki perbedaan yang mendasar dengan rumah adat Toraja, yaitu rumah adat Mamasa memiliki atap kayu yang berat dengan bentuk yang tidak terlalu melengkung, sementara rumah adat Toraja memiliki atap kayu dengan bentuk seperti karakter “U”.

Masyarakat Mamasa ini sebagaimana lazimnya rakyat di nusantara adalah masyarakat agraris hidup pada hasil pertanian. Mereka bercocok taman, padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, sayur-sayuran dan berbagai jenis buah-buahan. Mereka juga memiliki perkebunan yang ditanami kopi dan kakao yang dikelola dengan cara tradisional. Di luar bidang pertanian, mereka juga memelihara hewan ternak, seperti babi, kerbau, sapi, kuda, kambing, ayam dan bebek.

(https://www.indonesiana.id/read/37691/mendefinisikan-mamasa-sebagai-suku-bangsa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *