
KAMIS tengah malam, di Bulan Januari 1986, gerimis membuat peluh Kota Makassar. Jalan-jalan sudah mulai lengang, Ridwan kendarai motornya dengan badan sudah mulai basah kuyup. Pemuda sederhana ini ingin pulang ke rumahnya di Kabupaten Maros, setelah seharian bekerja di sebuah kompleks perumahan mewah di Kota Daeng.
“Begini nasih jadi tukang batu. Menunggu hujan redah, malam semakin larut. Mana perut sudah keroncongan.”
Lelaki drop out dari sebuah perguruan tinggi swasta ternama di Makassar ini membatin. Karena lapar, ia bayangkan semangkok Palubasa, masakan khas Makassar, ditambah lagi dua piring nasi putih masih ngepul. Eh ada juga telur bebek rebus yang warnanya hijau muda.
“Hemm, nyamanna.”
Ridwan mendesis dari atas motor matic tuanya, ia katakan enaknya makan Pallubasa di hujan gerimis. Mulutnya mulai mengunyah daging sapi ditambah cungkilan telur bebek rebus dari kulitnya.
Benar saja, tiba-tiba matanya temukan warung kecil di pinggir jalan. Meskipun samar, dinding kain penutup warung sederhana itu, ia baca. Warung Pallubasa Sumiati.
//
“Tambahki.”
Pemilik warung tawarkan tambah melihat Ridwan dah hampir meludeskan semangkok Pallubasa. Tanpa menoleh, lelaki yang ahli menprofil pilar tiang rumah itu mengiyakan.
“Sumi, semangkopi nak pallubasana.”
Mendengar pemilik warung memanggil Sumi, Ridwan mengangkat wajah dari mangkok pallubasa-nya. Seorang gadis dari dapur membawa nampang, di atasnya ada mangkok. Tapi bukan Pallubasa semangkok itu yang ditunggu Ridwan, kapan gadis itu tiba di mejanya. Karena hukan lagi perutnya yang bernyanyi keroncong, tetapi dadanya berdebur keras kayak ombak Selat Makassar.
Pemuda Ridwan tak sanggup berpaling dari wajah anak pemilik warung pallubasa itu. Ia tidak menyangka, di warung sederhana itu ada wanita secantik bidadari dari kayangan. Rambutnya, panjang, hitam terurai, kulitnya putih bak kapur tulis. Wow, mata gadis itu indah berbinar laksana bintang kejora.
Nanti setelah anak pemilik warung menghilang dibalik tripleks menuju dapur, baru Ridwan bisa memalingkan wajah. Dahsyat memang, sampai pemilik warung senyu-senyum melihat longoan Ridwan.
“Dia, Sumiati, anakku satu-satunya. Baru tamat SMA tahun ini. Belum bisa kuliah karena biaya kami kurang. Jadi ia bantu-bantu di warung.”
Ridwan mengangguk, rasa laparnya sirna. Pallubasa semangkok itu dimakannya setengah hati. Ia benar-benar jatuh cinta pada anak pemilik warung. Tapi apakah bisa, dirinya tukang batu yang sederhana. Paling tidak menurut batinnya, cewek secantik Sumiati itu, jadi istri muda anggota dewan yang kaya.
//
Juragan bangunan borongan bos Ridwan semakin senang, ada muda bawahannya itu semakin senang lembur. Ridwan bisa bekerja sampai jam 11 malam. Juga profil-profil pilar rumah buatan Ridwan semakin cantik dan artistik saja.
Usut punya usut, lemburnya Ridwan itu, karena ingin makan pallubasa tengah malam di warung ibunya Sumiati. Rupa-rupanya pria lajang ini sedang lakukan PDKT alias pendekatan. Ternyata, ibu Sumiati meresponnya. Tetapi, kenapa gadis itu, hanya seyum manis saja yang selalu diberikan padanya. Walau Ridwan sudah gunakan trik meremas jari saat Sumiati ulurkan uang kembalian.
“Sumiati.”
“Ya Daeng Ridwan.”
Begitulah komunikasi yang mereka bangun bila malam telah larut. Singkat, tapi itu membuat napas Ridwan memburu kayak pelari 10K. Ibu Sumiati sudah tahu gelagat kedua anak muda ini. Hati keduanya memang mulai saling terpaut, walau jalannya melambat.
//
“Ridwan.”
Wow wow, Ridwan ketangkap basah meremas tanga Sumiati saat kembalikan uang pembayarannya. Namun ibu itu senyum – senyum lalu mengangguk.
“Nak Ridwan. Ibu juga pernah muda. Saya tahu, kamu menyukai Sumi.”
“Iya bu.”
Muka Ridwan merah hati kayak celana anak sekolah dasar. Tapi, itu mesti dijawabnya. Sebab Sumiati sudah marasuk dalam dalam sukmanya. Gadis telah menjadi impian dalam malam-malamnya dan siang jadi kenangan.
//
Cinta Ridwan kepada Sumiati telah mendapat legalitas. Namun sebelum mereka melengkungkan janur kuning, ibu Sumiati meminta Ridwan duduk baik-baik di kamar dalam rumahnya. Bukan di warung Pallubasa, dimana benih-benih cinta antara Ridwan dan Sumiati mulai bersemi.
Ibu Sumiati kemudian meceritakan prihal anaknya Sumiati. Saat anak itu, baru kelas dua SMA, 4 orang anak muda yang tidak tahan akan kecantikan Sumi, menyekap gadis belia itu di sebuah rumah kosong. Keempatnya lalu memperkosa Sumiati.
Sejak tragedi piluh itu, Sumiati bersumpah akan menghabisi nyawa para pemerkosanya secara diam-diam. Dengan baju merah darah, ia temui pemuda-pemuda itu, seolah mengajaknya bercinta. Kemudian digoroknya leher para pemerkosanya dengan pisau dapur.
Semakin merunduk Ridwan mendengar cerita ibu Sumiati. Ada rasa ngerih di benak pemuda itu. Ia ingat cerita tentang roh gadis cantik berbaju merah, berkeliaran di Kota Makassar.
“Ridwan.”
Ibu Sumiati menegur Ridwa yang sudah mulai ketakutan. Ia tidak ingin dirinya menjadi mayat karena kecantikan Sumi yang disebut-sebut dalam cerita orang-orang.
“Ridwan, Sumiatimu, tidak akan mengenakan baju merahnya lagi. Ia telah jatuh cinta pada dirimu. Kau telah mengobati sakit hatinya. Menikahlah dengan segera.”
Ridwan bernapas lega. Bersamaan dengan munculnya Sumiati membawa secangkir kopi. Matanya tidak lepas melalap tubuh kekasihnya itu. Kebayang, apa yang seharusnya dibayangkan seorang pemuda 28 tahun pada wanita idamannya.
Amping Lau, 24 Desember 2017
(Sumber: https://www.kompasiana.com/1967)