
Antara Uwentira di Sulawesi Tengah (Suteng) dan El Dorado di Spanyol adalah dua kota dalam diskursus lost city. Telah menjadi legenda dari mulut ke mulut dan disebutkan sebagai kota berselaput emas. Sungguh fantastis.
Ada banyak kesaksian orang-orang tentang dua kota dari dua belahan dunia itu. Semunya memikat, seolah nyata adanya. Hingga orangpun “berburu” ingin mengetahui, bahkan ingin melihatnya secara secara kasat mata. Namun sangat sedikit yang mampu memenuhi keinginan tersebut.
Dalam ceritanya, El Dorado konon adalah sebuah kota kaya raya yang terbuat dari emas, bahkan tubuh rajanya diselimuti serbuk emas.
Kisaran cerita ini diawali pada penjelajahan Columbus di Amerika pada 1492, kisah dunia baru yang kaya logam mulia itu tersebar ke Eropa, mengundang lebih banyak penakluk Spanyol berdatangan, mengikuti hawa nafsu penaklukan dan mengeruk harta.
Benarkah, banyak emas ditemukan di sana. Namun, temuan arkeolog baru-baru ini menyebut, seluruh perjalanan bangsa Eropa menemukan sebuah kota emas, sia-sia. Sebab, El Dorado bukan tempat melainkan orang. Ia seorang penguasa yang saking kayanya menutup dirinya dengan emas, dari kepala hingga ujung kaki setiap pagi, dan mencucinya di danau suci tiap malam.
Sementara Uwentira adalah sebuah lokasi yang berada di lintas trans-Sulawesi, jalan poros Tawaeli – Toboli. Menurut keyakinan masyarakat setempat, yang disebut kawasan Wentira atau Uwentira adalah wilayah yang sekarang dikenal sebagai kawasan “Kebun Kopi.”
Wentira sendiri menurut beberapa kesaksian orang-orang yang mengaku pernah ke sana mengatakan kalau wentira merupakan suatu kota yang sangat teramat indah dengan ciri khas warna kuning atou emas.
Di sekitaran Uwentira, tidak ada pemukiman penduduk, hanya pohon-pohon yang menjulang tinggi berwarna keputih-putihan ditandai dengan sebuah jembatan yang konon hanya orang yang mampu melihat hal-hal gaib-lah yang bisa melintas dan menuju dunia gaib tersebut. Jembatan itu juga merupakan pintu gerbang untuk masuk ke kerajaan mistis Uwentira.
Cerita dari warga sekitar atau mayoritas Orang Kaili, Suku asli di Sulteng di jalan poros Tawaeli – Toboli, jembatan tersebut sudah sangat tua usianya. Konon katanya, masih buatan Belanda. Di sampingnya ada satu jembatan beton yang digunakan yang digunakan pada kisaran tahun 1980-an. Setiap kendaraan yang lewat wajib memberi kode lampu atau membunyikan klakson sebagai tanda permisi. Tradisi ini masih dilakukan sampai sekarang.
Di kawasan Uwentira, jalannya memiliki medan cukup berat, menanjak dengan kemiringan tajam. Belum lagi sering terjadi longsor di sana. Pada lokasi yang disebut-sebut sebagai gerbang menuju kota hilang itu, sebuah tugu berwarna kuning bertuliskan “Ngapa Uwentira”. Ngapa dalam bahasa Kaili berarti Kampung, negeri atau kota. Uwentira berarti tidak kasat mata (maya). Jadi tugu itu menyiratkan pengertian “ Negeri yang tidak tidak terlihat atau maya.
Secara terstruktur dan massif, orang-orang dari berbagai tempat di kawasan Sulawesi Tengah, seperti Poso, Pargi, Palu, Donggala, bahkan dari Pasangkayu Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Bercerita dan berkisah tentang pengembaraannya di sebuah tempat yang indah bermandikan emas. Menurut orang-orang di sana, tempat itu disebutnya sebagai Uwentira.
Di sana di Kota Emas Uwentira, semuanya berjalan dengan baik, fasilitas umum tersedia dengan cukup. Pasar ramai dan perputaran uang berjalan dengan merata, tidak menumpuk hanya pada kelompok pemegang kekuasaan. Pempinnya baik, tidak terkena gejala “Narsisus Syndrom” — suka memuji diri. Apalagi “berbohong” untuk disebut baik di depan rakyatnya.
Demokrasi di Uwentira adalah demokrasi yang sangat ideasional, tidak ada bias yang mencerminkan otoriter dan oligharkhi. Semuanya aman dan damai. Karena kota itu, kota emas, kota pemimpin dan penduduknya behati “emas.” Sayang itu hanya dunia tidak nyata, seolah nyata dan penah ada dan mungkin masih ada.
Antara Uwentira dan El Dorado hanya nyata dalam tuturan dari mulut ke mulut dari kepala ke kepala yang lain, hingga melintas pulau, melintas negara malah. Namun dunia ideasional yang diciptakan oleh pujangga (baca: pengarang cerita sastra, red) pada masing-masing “dunia” Uwentira dan El Dorado, telah mampu menyusup secara tajam, seolah nyata adanya kedua kota maya berselaput emas tersebut.
(Sumber: lenterasulawesi.blogspot.com)